M I F T A H F A D H L I

rumahku, milikmu

Kamis, 03 September 2009

Aku Menikah dengan Seseorang dari Neraka


Ah! Aku menikah dengan seorang perempuan dari neraka. Ia bahkan berani mengacungkan pistol ke wajahku. Entah dari mana ia dapatkan pistol itu. Tapi, malam ini, sepertinya aku ingin menyembunyikan muka saja.

***
Kali ini kuakui, bahwa malam ternyata menyimpan tidak hanya makhluk-makhluk paling mencengangkan di dunia. Malam, yang kulihat sekarang lebih mirip neraka paling dingin–ingin kukutuk diriku, yang menghentak-hentakkan kakinya hendak menendangku.
Ada gang-gang terkecil. Gang tikus. Seperti namanya, tikus-tikus jalanan hidup di situ. Malam ini mereka sedang mengadakan pesta. Pesta keju. Tidak ada tempat lain yang hidup selain gang tikus. Maka aku harus mengunjunginya. Lebih tepat, menempatinya.
Mereka punya cara berbeda dalam menyambut anggota baru. Bukan ritual seni budaya, tapi ritual pemanggilan roh raja tikus yang taringnya lebih kejam ketimbang anjing. Yang kumisnya bahkan lebih panjang dari naga. Mereka memakai pakaian serba hitam. Bahkan cenderung terbuka. Bagaimana mereka bisa bertahan dalam keadaan dingin dengan baju serba bolong begitu? Mereka suka mengendus-ngendus orang. Mulai dari wajah, perut, selangkangan, hingga jari kaki. Tidak ada yang terlewat. Jika mencurigakan, mereka akan menggiring orang itu ke suatu ruangan sempit dan gelap. Kemudian mereka ikat orang itu di tiang yang mungkin sudah mereka siapkan untuk hal-hal semacam ini. Ya, hal semacam ini, tidak terkecuali diriku.
Mereka menutup mataku dengan sehelai kain hitam. Menyumpal mulutku dengan gumpalan kertas ikan asin yang mereka dapatkan dari keranjang sampah. Rasa anyir seketika mengubah pandanganku terhadap ke-malam-an ini. Bau amis residu ikan asin menyergap rasa ingin tahuku agar masuk lebih dalam ke lubang tikus ciptaan mereka. Hanya saja, keadaan itu tidak berlangsung lama karena seseorang sepertinya menepuk pundakku sambil tertawa cekikikan. Sepertinya ia sedang mengendus tubuhku. Aku bisa mencium napas bau alkohol yang segera menusuk hidungku. Seperti tertusuk tombak.
Ia ingin menelanjangiku. Dalam benakku, mungkin ia seorang lelaki homo yang sudah bosan mencicipi ketelanjangan orang-orang sejenis. Dan malam ini adalah kesempatan langka bisa mencicipi tubuh seseorang dari wilayah siang yang jarang mereka hirup.
Ia menarik-narik kerah bajuku. Melepaskan tali pinggangku dan menghentakkannya ke lantai. Suaranya seperti letusan. Ruapanya ia hendak menakut-nakutiku sebelum ia memperkosa tubuhku. Kurang ajar!
Lalu, dengan gerakan sederhana namun cepat ia menarik penutup mataku. Warna temaram menghantuiku. Melepas arwah-arwah tikus jalanan yang menjulur-julurkan lidahnya. Mereka mencium bau keju segar di tubuhku. Ada kekaburan yang kulihat di depan. Selesat tubuh yang mondar-mandir di depanku seraya mengacung-acungkan tangannya. Tak kumengerti apa yang sedang mereka katakan. Mulut mereka komat-kamit. Ah, makhluk buas itu mendekat.
”Selamat datang, di negeri arwah para tikus. Ha...ha...”
Suaranya membuatku terhenyak. Begitu berat. Begitu lambat. Ia, seseorang serba hitam. Rambutnya seleher. Ada banyak warna tenggelam di kepalanya. Dan ia sepertinya merasa nyaman dengan hal itu.
Ia menggeretku ke luar. Menunjukkan betapa mereka–yang bernama tikus, adalah sosok manusia paling ironis di dunia. Terasingkan dari negeri mereka sendiri. Padahal mereka berusaha melebur dengan yang lain. Tapi justru yang lain berusaha menghindari mereka. Tidak ada tempat untuk para tikus. Rumah yang lain adalah rumah dalam arti sebenarnya. Sementara rumah para tikus adalah parit-parit tersumbat berongga, juga dalam arti sebenarnya.
Setidaknya begitu yang ia katakan padaku.
Wajahnya yang keras, menerima begitu banyak pukulan. Beberapa hari ini ia sering kulihat pulang dengan pelipis koyak. Dengan hidung mengeluarkan darah. Jalannya tertatih-tatih hingga aku sulit membopohnya ke dalam ketika ia pulang. Entah sengaja atau tidak, setiap malam, kulihat perbedaan besar di tubuhnya. Mula-mula hanya di tangannya. Kemudian menanjak ke lehernya. Lalu menyebar ke kakinya. Terakhir ia membalutkannya di seluruh punggungnya.
Sebuah tato!
Katanya menyimbolkan keberadaan. Berarti kebesaran. Itu artinya bertahan hidup. Aku ngeri membayangkan kulitnya yang dipenuhi ribuan tato yang setiap malam selalu tumbuh. Akarnya menyebar ke mana-mana. Aku dapat menemuinya di kulit kepalanya. Di mulutnya. Terakhir akar-akar itu kutemui di daerah selangkangannya.
Betapa ia sangat suka merajah tubuhnya dengan jarum-jarum suntik demi sebuah pengertian. Ia mencari makna. Seperti ada yang belum dikeluarkan dari tubuhnya. Sesuatu yang belum banyak diketahui tikus-tikus yang lainnya. Aku tahu. Karena ia yang memberi tahu.
”Mereka menggedor-gedor jantungku!” katanya berapi-api.
Ingin kutanyakan arti semua tato-tatonya. Bahkan sempat kulayangkan beberapa pertanyaan yang mengarah ke situ. Tapi ia tidak menjawab keinginanku. Ia hanya menjawab mengenai, malam, kedinginan, darah, atau mengenai orang-orang mati.
”Sudah berapa orang kau bunuh, Alesia?”
Ia menggeleng. Itu berarti, beribu-ribu. Kemudian ia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Ia menatap ke arahku. Kantung matanya hitam. Bibirnya dicat biru dongker.
”Dua ribu?”
Ia menggeleng.
”Dua orang?”
Ia mengangguk.
Aku tertegun. Begitukah? Ribuan malam sudah ia lewati dan ia baru membunuh dua orang? Entah ini kabar baik atau tidak, tapi itu mengejutkanku. Ia yang jika kusentuh tubuhnya langsung mengancam dengan parang ternyata baru membunuh dua orang?
Suatu malam ia mengajakku berjalan-jalan. Biasanya ia akan mengajak dua teman lelakinya yang berbadan besar keluar. Tapi untuk malam ini, ia ingin keluar bersamaku. Sepanjang jalan ia sering melirikku. Aku tahu. Tapi ia pura-pura tidak tahu. Ketika ada seorang lelaki dan perempuan berjalan bergandengan tangan, ia juga akan melirikku. Aku tersenyum. Mungkin ia tidak tahu.
Mungkinkah perempuan seperti dirinya bisa merasakan cinta? Apa yang dilihatnya dari sepasang kekasih itu? Tangan mereka yang bergandengan? Ah, sulit kupercayai jika ia juga menginginkan hal yang sama denganku. Aku tidak bisa berpacaran dengan perempuan sepertinya. Bagaimana bisa, sementara ia lebih suka hidup di gorong-gorong terpencil. Dan aku lebih suka hidup di kamar suite dengan fasilitas termewah yang pernah ada.
Sangat bertolak belakang. Tapi sepertinya ia memaksa. Setiap ada sepasang kekasih melewatinya, ia selalu melirikku. Ketika kubalas lirikannya, ia berpaling. Menghujamkan pandangannya ke arah lampu-lampu jalan.
”Kenapa?”
Kucoba mengambulkan keinginannya. Dengan gerakan perlahan tanganku bergerak ingin menggamit genggamannya. Sangat lama sehingga aku punya waktu untuk berpikir seratus kali tentang akibat yang akan terjadi nantinya. Semakin dekat. Semakin....semakin....dan genggamannya kini genggamanku.
Ia tersentak. Beberapa saat lamanya ia tak melirikku lagi. Wajahnya tegang. Bibirnya bergetar. Dadanya kembang kempis.
”Kenapa?” tanyaku.
”Hah!”
Huh! Mungkin ia perlu diajarkan bagaimana berbicara yang baik dan sopan.
Untuk beberapa saat selanjutnya, kelihatannya ia mulai nyaman dengan keadaan ini. Begitu juga aku. Tidak hanya menggamit tangannya, aku ingin merangkul tubuhnya. Berjalan selayaknya kekasih. Dan ia juga mengharapkan hal yang sama.
Kami berbicara banyak hal. Semakin malam, pembicaraan kami semakin tak ada usai. Ia banyak menceritakan tentang kehidupannya. Tentang kekerasan yang ia alami dulu. Ya. Ia memang ditempah untuk hal-hal semacam ini.
Alesia dididik untuk menjadi seorang perempuan lugu. Menjadi perempuan seutuhnya dengan rambut panjang tergerai. Lipstik merah menawan dan riasan wajah yang memukau. Hanya saja, entah kenapa ia tidak menyukai hal itu. Ia justru ingin menjadi petinju. Aku terkekeh mendengar penuturannya.
Setidaknya itu yang kudengar dari mulutnya. Ia memutuskan lari dari rumah dan bergabung di gorong-gorong. Katanya, ia sudah cukup dengan kehidupan orangtuanya. Ia sudah selesai dengan perkara-perkara soal kewanitaan. Kehidupannya adalah kehidupan laki-laki. Pribadinya, adalah seonggok karang yang tak pecah meski dihantam ombak setinggi apapun. Tak heran, hanya dia perempuan di kelompoknya.
”Jadi, kau sudah tidur dengan banyak lelaki, ya?”
Ia mengangguk. Kemudian menempelkan ujung telunjuknya di dadaku. Aku menghembuskan napas. Ya, termasuk aku. Sepanjang malam aku dihantam keberengsekkan hingga remuk. Alesia membawaku ke tempat-tempat tergelap yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Ia memperlihatkan kepadaku bagaimana caranya memukul kepala orang dengan pemukul baseball hingga kepalanya hancur. Ia menunjukkan padaku bagaimana cara memegang pistol yang baik. Bahkan ia mempraktikkan padaku bagaimana caranya menembak kerongkongan laki-laki hidung belang di jalanan.
”Dengan ini sudah tiga, ya?”
Ia menarik napas panjang. Kemudian menghembuskannya cukup lama. Meski ia memiliki jiwa begundal, ia mengaku bahwa ia tidak pernah merokok. Sangat aneh. Betapa ia sangat mempedulikan paru-parunya. Ya, paru-paru dan jantung adalah sumber kehidupan dan kebebasan. Tentu dengan alasan seperti itu ia sangat menjaga kesehatan paru-paru dan jantungnya.
Ia mengajakku ke sebuah taman. Kami duduk di bawah pohon besar. Seperti payung besar. Kepalanya hitam. Berlekuk-lekuk. Sebuah siluet yang mengagumkan. Ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami berpelukan mesra. Menikmati malam panjang bersama ribuan cahaya bulan yang tenggelam. Di permukaan air, ribuan cahaya itu terlihat seperti kunang-kunang.
Menghabiskan waktu bersamanya, membuatku seperti menjadi seorang suami. Alesia isteriku. Setiap malam kami bercinta. Setiap malam aku menjamunya dengan hidangan berupa kecupan dan kehangatan. Begitu menurutnya. Setiap malam juga ia mengajariku bertahan di kehidupan yang lebih gelap dari malam. Ia, Alesia–isteriku, sesuatu yang belum pernah kupilih sendiri. Seseorang yang belum pernah kusentuh karena aku ingin menyentuhnya.
Dulu, aku masih ingat ketika orangtuaku harus membatasi ruang gerakku. Menciptakan peraturan. Mengatur tata cara berjalan, tata cara memandang. Mereka yang merasa terhormat, memaksaku agar bergaul secara terhormat. Mereka melarangku mencicipi kebebasan. Mereka mencicipiku dengan kemewahan. Hah! Kemewahan macam apa itu jika nyatanya aku masih merasa terpenjara. Aku tersuruk ke tempat paling buruk. Tak ingin kutemui tetek bengek semacam itu.
Paling tidak begitu yang kuceritakan pada Alesia malam itu. Ia tertawa. Tak disangka kami punya cerita yang tak tahu berbeda. Dan ketika aku memberitahunya bahwa aku lari karena akan dijodohkan, ia malah sibuk memegangi perutnya dan perlari ke pojokan untuk melepaskan tawa. Aku menghampirinya yang saat itu sedang duduk di atas batu. Memandangi bulan. Ia ternyata punya dagu yang indah. Dari sekian tubuh indahnya, hanya dagu yang paling sering kuperhatikan.
Hanya dagu.
Lalu ia beranjak.
”Ayo! Kuajarkan kau bagaimana caranya memenggal kepala.”

***
Alesia, yang saat itu berhasil mengajarkanku cara memenggal kepala seketika mengarahkan moncong pistolnya ke keningku. Sesaat lamanya aku tercenung. Tubuh tanpa kepala yang sekarang tergeletak di sofa adalah ibuku. Sekarang ia mencoba memenggal kepala ayahku. Belum cukup yang ia ajarkan kepadaku ketika aku memaksanya untuk pergi. Tapi ia justru menikamku dengan ujung pistolnya.
Ia bisa menjadi sangat garang di hadapan mangsanya. Bahkan ketika aku mencoba memeluknya, ia menolak dengan alasan aku belum cukup usia untuk melakukan hal itu di depan korbannya. Ah, Alesia, aku baru sadar ia tidak hanya ditempah dengan kekerasan. Ternyata ia dilahirkan dari api neraka yang ujung-ujungnya bermakna keberengsekan.
”Lihat ini! Begini seharusnya kau memenggal kepala!”
Aku ingin memenggal kepalaku sendiri.

2009, Tumpatan.




0 komentar:

Posting Komentar

for comment(s)

aku dan blog

Blog ini kuciptakan dalam rangka pencarian identitasku yang masih abstrak. Aku ingin menciptakan keindahan lewat kata-kata. Mematri ketulusan lewat sastra. Dengan blog ini, kuharap kalian akan menjadi teman sejati

pilih arsip

2012 thriller

  © Blogger template Starry by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP